Salah satu kuliner kota Solo yang terkenal adalah bebek goreng legendaris almarhum H. Slamet Raharjo dan Hj. Barjatin. Cabangnya saat ini sudah menyebar di berbagai kota dan selalu ramai pengunjung. Tapi siapa sangka sebelum menjadi restoran sebesar sekarang ini, awalnya hanya berupa warung kaki lima.

Sejak 1986, Slamet dan istrinya membuka usaha bebek goreng dengan modal hanya Rp 10.000. Mereka membuka toko bebek di Jalan Utama di Kartasura, Jawa Tengah namun kemudian pindah ke halaman rumah mereka di Sedahmoro Lor pada tahun 1992.

Tentu saja, H. Slamet hidup dalam kemiskinan dan terpaksa menukar segalanya untuk menghidupi keluarganya. Beruntung dia memiliki istri dan anak yang mau membantu perjuangannya.

Berkat penjualannya yang bagus, akhirnya H. Slamet memutuskan untuk membuka usaha rumah makan bebek gorengnya yang bernama Waroeng Bebek Goreng H. Slamet. Alhasil, nama warung makan ini meledak di kalangan warga Solo.

Ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, H. Slamet menjalankan usahanya dengan begitu ulet dan serius, mulai dari manajemen hingga kualitas bebek. H. Slamet dan istrinya berbagi pekerjaan, H. Slamet fokus pada pelayanan pelanggan sedangkan istrinya mengurus dapur.

Selain itu, rahasia kelezatan bebek gorengnya yaitu terletak pada pemilihan bahan bakunya. Bebek yang digunakan hanyalah jenis Bebek super yang telah bertelur empat kali dalam dua tahun, yaitu bebek apkiran. Daging bebek jenis ini tidak mudah hancur seperti bebek muda.

Menyadari kesuksesan Warung Bebek solonya, H. Slamet akhirnya mulai mengembangkan usahanya dengan membuka cabang di berbagai daerah. Sejauh ini sudah ada 34 cabang yang tersebar di indonesia. Untuk mengetahui info lebih detail tentang menu Bebek Goreng Haji Slamet dan lainnya, Anda bisa lihat di situs Bebekhajislamet.com.

Di Solo sendiri, bebek goreng H. Slamet begitu populer hingga melahirkan banyak pesaing. Para kompetitor ini menggunakan ide dari Bebek Goreng H. Slamet, sehingga pengunjung solo yang baru mengenalnya seringkali bingung mencari Bebek Goreng H. Slamet. Akibatnya, H. Slamet terpaksa membubuhkan kata “asli” pada kemasan dan di papan warung makannya.

H. Slamet tidak memperkenalkan sistem waralaba, tetapi bekerja sama dalam pengelolaan cabang-cabangnya. Cabang-cabang tersebut sebagian dipegang oleh anak-anaknya, selebihnya oleh pihak lain yang harus terlebih dahulu melalui masa kepemimpinan langsung bersama H. ​​Slamet.

Sistem tersebut sukses besar bahkan berhasil menghasilkan penjualan hingga miliaran per bulan.  Meski sukses, H. Slamet tidak pernah berubah sejak menjalani kehidupan yang sulit. Ia selalu terlihat sederhana dan lebih suka menggunakan kekayaannya untuk hal-hal yang bermanfaat.

Ia bahkan mendirikan pesantren gratis Tahfidz Darussalam yang berjarak 100 meter dari rumahnya. Hal ini membuatnya menjadi inspirasi bagi masyarakat Kertasura. H. Slamet akhirnya meninggal dunia pada 30 September 2019, meninggalkan istri dan tujuh anaknya.